Jepara, 1899
Here I am…
Aku
tak tahu mengapa aku tiba disini. Jepara, sebuah kabupaten kecil
disebuah Negara yang jauh dari kesan modern. Mesin waktu bekerja dengan
baik.Ok…where are u now…
Aku berjalan dilingkungan yang kotor, orang-orang pribumi itu menatapku heran dan mundur perlahan saat aku melewati mereka.O…o… I see…. Penampilanku. Tentu saja, ini kan 250 tahun yang silam, girl!! Sekarang….cari tempat yang sepi and then… Simsalabinm!!! Aku berubah. Aku tertawa geli melihat penampilanku sekarang, look… sekarang aku sama dengan orang-orang kumuh itu. Microchip mengubah suara dan penyesuaian bahasa pun sudah aktif, and… it’s time to looking for Kartini…
California , 2149
“You are a crazy girl!! You know that!!” Prof. Bill masih tak percaya ketika ku utarakan keinginanku.
“I’m not crazy, Prof. I just a smart girl”. Prof Bill terkekeh, ini pertanda baik.
“dan wanita itu…Kartini…She was a smart girl too. Please..”Ujarku penuh harap.
Lelaki paruh baya itu menghela nafas. Ia masih menatapku, mencari kesungguhan dalam mata biruku.
“And… why…? Why do u want to meet her? She’s just an Indonesian girl, I said… Indonesian girl, u know??
Yes… I know all about Indonesia. Sebuah negri yang gadis-gadisnya bodoh, setif\daknya saat ini. Mereka mengikuti saja gaya
hidup kami, orang barat. Ah…hal itu juga yang menyebabkan Negara itu porak poranda.
“Hallo…???” Profesor berkacamata itu menyadarkanku.
“emmm… I don’t know,
ada sesuatu didalam tulisannya, sesuatu kekuatan yang menarikku, agar
aku tahu sesuatu. Apalagi setelah kubaca berulang-ulang buku tua ini”.
Aku memperlihatkan sebuah buku tebal berbahasa Belanda berjudul “Door Duisteenis tot lich”, habis gelap terbitlah cahaya. Buku itu kutemukan direruntuhan gedung tua saat bereksplorasi di Belanda.
“What the power??”Tanyanya dengan mata membesar.
Aku terdiam, tak yakin dengan apa yang akan kukatakan. “Like God maybe…?”, ia tertawa. Oh..jawaban bodoh. Entah mengapa kata itu terlintas dibenakku. Remember girl!!! Tuhan itu Cuma khayalan orang-orang bodoh yang putus asa.
Aku
terus membujuk Prof. Bill, sampai pada akhirnya ia bersedia mengirimku
ke abad 19, Indonesia . Saat itu yang terlintas dibenakku adalah
petualangan. Aku seharusnya menyadari bahwa hidupku akan berubah setelah
ini.
* * * *
Jepara, 1899
Yeah…tak
susah menemukanmu, Kartini. Komputer sudah merekam wajahmu dalam lensa
hitam palsu dimataku dan target didepan mata. Saat ini chip
dimataku sangat berguna, dibalik dinding sebuah rumah besar, ku lihat
seorang gadis jawa berwajah teduh, sedang membaca sebuah buku. Aku jadi
penasaran, kuarahkan pandanganku pada buku tersebut, dengan chip ini aku
bahkan bisa membaca buku yang berjudul “Moderne Maagden” itu, that’s a great book. Hei..gadis manis, teruskan membacamu. Kubidikkan sebuah penyadap kecil ditelinga Kartini hup…sekarang aku bebas mengamatimu.
* * * *
California , 2149
“Ingat
pesanku! Kau hanya punya waktu sedikit, waktu itu akan menutup disaat
yang tidak kau duga. Kau harus kembalidisaat sinyal memanggilmu. Jika
terlambat, kau akan terperangkap selamanya.”
Pesan
yang cukup mengerikan, buat orang yang pengecut. Aku gadis yang
tak kenal takut, karena aku wanita yang kuat. Bahkan aku menawarkan
disaat Prof. Bill mencari sukarelawan untuk mencoba mesin waktu untuk
pertama kalinya. Dan nyatanya…. Aku selamat.
* * * *
Jepara, 1899
Hari-hariku kulewatkan dibalik rumah yang kusewa dari
pemerintah Belanda (tentu dengan mengubah penampilanku). Untuk mengamati Kartini aku menggunakan microcamera,
sesekali aku berjalan-jalan melihat lingkungan yang telah membesarkan
Kartini, menjadi seorang yang menarik hatiku, membuatku ingin tahu.
Dunia
Kartini sama sekali tak pernah kubayangkan, dunia dan masa dimana
sangat diremehkan, dikekang dengan sesuatu yang mereka sebut adat. Tentu
saja mereka menjadi bodoh, bersekolah saja tidak boleh. Ironisnya, di
Indonesia, dimasa lahirku, kaum wanita jauh lebih bodoh. Mereka
berpendidikan tinggi, tetapi masih percaya pada horoskop yang bangsaku buat untuk membodohi mereka, mereka juga mengikuti fashion kami, yang sebenarnya dibuat untuk menghancurkan
mereka.
Kartini
yang beruntung dapat menikmati pendidikan, kini tanpa sadar membawa
cita-cita pada kegagalan. Bayangkan…. Selangkah lagi ia akan berhasil,
ia malah menerima lamaran seorang laki-laki yang tidak ia kenal
sebelumnya, bahkan ia berkata “saya akan melakukan kewajiban saya,
tiadalah sebagai seorang perempuan yang berdiri sendiri, karena seorang
laki-laki yang cakap mulia akan membantu dalam usaha saya, bagi
keperluan bangsa kami”
Satu hal yang tak kumengerti dari dirinya, rasa cintanya pada bangsanya. Oh Kartini…siapa dirimu..??
Hari-hari
terus berlalu,
pelan-pelan aku mulai mengerti Kartini. Gadis seperti dia ternyata
percaya pada Tuhan, bahkan Tuhannya tidak pernah dilihatnya.
Sahabat-sahabat penanya yang berasal dari barat pun tak membuatnya ragu akan keberadaan Tuhannya, yang ia sebut Allah. Benarkah itu…?
* * * *
Aku mulai berkomunikasi dengannya lewat surat . Waktuku tinggal sedikit, sementara
aku belum menemukan apa yang aku cari. Pelan-pelan kutanyakan soal Tuhannya, agamanya dan juga cita-citanya.
“aku tak punya jasa apa-apa dalam kebebasan wanita.
Aku hanya meneruskan perjuangkan Rasulullah”, ujarnya dalam salah satu
suratnya padaku. Satu hal yang membuatku bingung, Rasulullah…Nabi
Muhammad…Siapa lagi itu? Aku koq begitu bodoh ya….
* * *
*
Hari
ini Kartini untuk pertama kalinya bertemu denganku. Ia harus menjawab
semua pertanyaanku kali ini. Tapi ia hanya punya satu jawaban, sebuah
buku bersampul indah. Ini Al-Qur’an katanya. Ia belajar segala hal dari
buku itu, namun masih sedikit sekali yang dapat ia mengeri, karena
tulisan-tulisan Arab yang tak ia kuasai, itu menjadi kendala.
Oh..kartini, itu bukan masalah. Dengan chip penterjemah akan
kuterjemahkan untukmu, semua buku ini. Tapi tiba-tiba… Sinyal itu
muncul, mendengung-dengung ditelingaku. Oh…aku harus pergi. Sorry,
Kartini … aku bawa Al-Qur’an ini, kelak aku akan kembali. Lagipula…aku
belum dapat yang kucari. Sebelum meluncur lewat kubah waktu, kubidikkan blitz kematanya, sebuah cahaya biru menenggelamkanku dalam pusaran waktu.
Goodbye Kartini…kau tak akan ingat apa-apa tentangku, tentang Margareth Duncan.
* * * *
California 2149
“Bagaimana, sudah
dapat power itu?” Prof Bill memelukku erat.
“belum…tapi akan kucari lagi. I got something, this book” ku tunjukkan sebuah buku yang ku ambil dari Kartini.
Professor Bill Harisson menatap Al-Qur’an ditanganku. Ia berulang-ulang memandangku dan Al-Qur’an bergantian.
“Buku ini? Boleh aku pinjam, margareth?” pintanya. Ada maksud lain dalam nada usaranya, oh… semoga saja ini hanya dugaanku.
“Sorry Prof, tapi aku harus egera pulang, aku sudah rindu pada keluargaku. Thanks Prof” Aku segera pergi
meninggalkan Prof Bill yang masih menatapku dingin. Tanpa kusadari,
beberapa saat setelah kepergianku, ia menghubungi seseorang untuk
mengawasiku.
Aku
segera membaca detail-detail isi Al-Qur’an, apa yang ada didalamnya
membuat kuterperangah. Buku itu memut segalanya, tentang alam, wanita,
sains dan lainnya. Prof. Bill pasti tertarik, dan satu hal paling
membuatku kagum… semua isinya berkata “Hanya Allah Tuhan seluruh alam”.
Allah?? Ada hangat yang menjalar dalam hatiku saat aku menyebut nama
itu. Allah?? Inikah yang kucari.
“Prof,
anda pasti terkejut atas apa yang akan aku tunjukkan, Tuhan itu
benar-benar ada. Dan hanya Allah… Lihat ini, Prof!!!” aku tak meneruskan
kata-kataku ketika kusadari mata seorang pria dihadapanku itu terlihat
marah.
“Margareth, kau terlalu banyak tahu. Sudahlah…lupakan semua!!”
“No, I can’t, semua orang harus tahu tentang hal ini. Orang-orang tidak boleh tidak tahu tentang Allah…..”
“Aku tak mau berurusan dengan ini, Margareth. Kau sudah
seperti orang Islam yang teroris itu”
“Bukan Prof,
anda tidak tahu tentang islam dalam Al-Qu’an..” Aku ternganga melihat
sepucuk pistol yang diarahkan anak buah Prof. Bill padaku.
“A…apa ini….?
Prof. Bill memberikan sebuah tablet padaku.
“Margareth,
kau hanya sakit. Ayo minum ini, dan kau akan lupa tentang hal-hal bodoh
tentang Kartini dan Allah-mu itu. Aku menyesal mengirimmu
kesana”
Ti…Tidak Prof, no, don’t do that..!!
“Atau…. Kau lebih suka mati?”
“Kenapa kau melakukan ini, Prof?”
“Kau
akan merusak rencana para Jewish, Margareth. Ayolah… kau tak akan rugi
apa-apa”. Ia memaksaku menelan tablet itu, lalu merebut Al-Qur’an yang
kupegang.
Aku
histeris, ku terkam ia kuat-kuat. Ada kekuatan yang menggerakkanku
untuk melindungi buku itu. Tapi… suara letusan kecil itu merobohkanku.
Aku
tak bisa merasakan apa-apa, aku bahkan tak bisa mencegah Prof. Bill
merobek-robek Al-Qur’an itu. Yang terakhir kulihat adalah bayang-bayang
Kartini, dengan senyum arifnya ia berkata, “cepat kembali, Margareth,
beritahu aku semua isi Al-Qur’an”.
* * *