Jakarta, September 2013.
Merindukanmu malam ini membuatku ingin menulis
sesuatu yang sedikit sentimentil. Seulas cerita perjalanan cinta kita, pahit
manis biduk rumah tangga yang akan terus kita jalani hingga akhir hayat kita.
Cerita ini kelak juga akan kubagikan ke anak-anak kita yang saat ini sedang
Allah rencanakan kehadirannya.
Mengenalmu di akhir tahun 2003, sayang apa kau
masih ingat? Waktu itu aku masih muda belia, masih duduk di semester 3 bangku
kuliah. Kau menyapaku di dunia maya melalui sebuah forum pertemanan, tapi bukan
Friendster apalagi Facebook yang belum ada saat itu. Perkenalan yang to the point, kau tanya siapa aku, tinggal
dimana, seperti apa ciri-ciri fisikku dan kau minta foto dan nomor teleponku.
What? Gila... orang ini gila. Tapi aku penasaran, who are you? Tampan kah
engkau, baik kah hatimu aku tak tau. Aku berfikir saat itu kau hanya seorang
lelaki yang ingin mengerjaiku, lelaki berusia 26 tahun yang over PD tapi “tak
laku” di alam nyata yang sedang mencari pacar di dunia maya dengan syarat2 yang
kau buat.
Perkenalan kita berlanjut melalui telpon dan
sms. Aku baru tahu ketika kau bercerita kau ingin serius mencari calon istri.
Bukan... Bukan aku, aku merasa belum cocok denganmu saat itu. Aku tak mau
serius dengan orang yang dari antah berantah. Pengalamanku sebelumnya dengan
seorang teman dari dunia maya sudah membuatku kecewa. Tapi kau tak putus asa,
kau kirim surat untukku, cerita panjang lebar tentang keluargamu, kau juga
kirim fotomu bersama ibumu. Sedikit luluh rasanya saat itu melihat upayamu
merayu, ya tidak ada salahnya kita berteman.
Hampir tiga tahun hubungan itu tak bisa kusebut
spesial karena tak tahu apakah kita bisa bertemu, karena jarak kota kita yang
jauh, Pontianak-Surabaya. Kita hanya berkomunikasi melalui telepon dan sms,
juga saling berbalas email beberapa kali. Sampai akhirnya awal Januari 2006 kau
mengutarakan niatmu untuk datang ke Pontianak pada saat wisudaku. Perjuanganmu
untuk bisa bertemu denganku juga tidak mudah, kau menempuh perjalanan laut dengan
kapal Pelni selama dua hari dua malam untuk sampai ke Pontianak. 26 Februari
2006, dipelabuhan Dwikora Pontianak kita pertama kali bertemu.
Pertama kali melihatmu langsung, rasanya
takjub. Kau nyata, lelaki yang selama ini selalu menelponku 3 kali sehari
seperti minum obat, bahkan kadang over dosis. Lelaki yang over PD dan punya
selera humor yang sedikit norak, lelaki yang selalu romantis dalam setiap puisi
copy paste dari internet, lelaki pemberani dan cenderung nekad. Aku masih ingat
saat itu, perawakanmu tinggi, gagah dengan kaos putih, celana panjang hitam, coat
selutut warna hitam dan menggunakan sepatu boot tinggi, dengan ransel ala
backpacker. Deg-degan rasanya, aku malu tapi mulai menyukaimu.
Di Pontianak tak satupun ada keluarga atau
temanmu disini, tak ada pilihan selain menginap dirumahku. Sikapmu yang sopan
membuat orangtuaku mengijinkanmu untuk menginap dirumahku selama seminggu. Keseriusanmu
untuk datang bertemu denganku dan keluargaku membuat orangtuaku menyetujui
ketika kau serius “memintaku” kepada orangtuaku, padahal baru sekali kita
bertemu.
Hubungan kita terus berlanjut setelah pertemuan
pertama pada Februari 2006. Setelah itu kita hanya bertemu 3 kali selama tiga
tahun. Pertemuan kedua, tahun 2007 ketika aku hendak pulang kampung ke Makassar
dan mampir sebentar ke Surabaya, kau ajak aku berkenalan dengan ibu dan
saudara-saudaramu. Pertemuan ketiga, lebaran idul fitri tahun 2008 kau datang
lagi ke Pontianak untuk resmi melamarku, bertemu keluarga besarku, sendirian.
Tak sampai setahun, pada Mei 2009 hingga akhirnya kita mantap menikah.
Alhamdullilah... Kita berjodoh, dan berharap ini kekal hingga Maut memisahkan kita.
Hari pernikahan
harusnya kita menjadi orang yang paling bahagia didunia. Setelah perjalanan
panjang 6 tahun, akhirnya kita menikah. Tapi dihari pernikahan kita, cobaan
pertama datang, musibah. Pagi hari ketika kita bersiap untuk didandan untuk
acara akad nikah, tiba-tiba kau muntah-muntah, diare, badanmu panas, wajahmu
pucat. Aku panik tapi tetap berusaha tenang. Akhirnya akad nikah tetap dapat
dilaksanakan pagi itu, tapi kondisimu masih tak baik. Antara haru bahagia dan
juga sedih melihatmu sayang saat itu. Semakin siang kau semakin parah, kau
diare akut. Aku mohon kepada Allah untuk kesehatanmu, aku sedih, panik tapi aku
harus kuat. Akhirnya siang hari sampai malam resepsi pernikahan kita aku hanya
sendiri di pelaminan tanpa hadirmu. Semua tamu undangan bertanya, dimana
pengantin lelakinya, aku hanya bisa menjawab bahwa kau dikamar sedang sakit. Aku
berusaha tegar dan tetap menghargai para tamu yang datang.
Selesai acara
resepsi pernikahan kita, kondisimu masih lemah dan akhirnya sepanjang malam
pertama pernikahan kita, semalaman aku tak tidur merawatmu, sedih rasanya tapi
semua kusimpan dihati tak boleh terlihat olehmu. Opname pun tak terhindari,
keesokan harinya akhirnya kau pun terpaksa dirawat di rumah sakit selama 3
hari. Tugas sebagai istri di hari pertama pernikahan kita adalah menjadi
perawat. Itulah perjalanan awal pernikahan kita. Bahagia ataukah sedih? Tak
dapat kujelaskan. Aku hanya bisa terus bersyukur kepada Allah karena kita sudah
menikah, aku bersyukur bisa menjadi istrimu dan merawatmu.
Dua hari saja
setelah keluar dari rumah sakit kita bisa bahagia menikmati bulan madu
pernikahan kita. Hari berikutnya kau kembali lagi ke Surabaya karena harus
bekerja dan aku masih tetap di Pontianak untuk bekerja mengejar mimpiku. Saat
itu kita memang belum memikirkan kita akan tinggal dimana setelah menikah. Semua
kita pikirkan nanti, sambil melihat peluang karir kita masing-masing. Dua bulan
berikutnya kau ajak aku ke Surabaya, untuk menebus rasa bersalahmu karena
resepsi pernikahan yang “gagal” di Pontianak. Ibumu menyusun acara ngunduh
mantu yang tak kalah meriah dari acara resepsi nikah di Pontianak. Aku tak
berharap ini sayang, tapi aku berterimakasih. Bulan madu ala backpacker ke
Jogjakarta juga sangat berkesan. Allah sangat baik, kesedihanku Dia balas
dengan sejuta senyum berikutnya. Terimakasih ya Allah, kau pertemukan aku
denganmu yang selalu berusaha membuatku bahagia.
Long distance love sudah biasa kita
lalui sejak awal perkenalan kita. Tapi memang rasanya berbeda setelah kita
menikah. Rindu setiap saat hanya bisa kita obati dengan mendengar suara melalui
telepon. Bulan-bulan berikutnya aku masih tetap bekerja di Pontianak, kaupun
juga begitu. Kita yakin, suatu saat kita akan bersama tapi banyak hal yang
harus kita siapkan, keuangan rumah tangga kita terutama. Sampai akhirnya pada
bulan ke tujuh pernikahan kita, ketika aku sedang menjalankan tugas negara
untuk “Siaran radio perdana” di perbatasan Indonesia-Malaysia, aku mendapat
kabar kau sakit yang cukup serius, hepatitis. Duniaku rasanya runtuh sayang.
Aku sedih, aku ingin terbang ke Surabaya untuk merawatmu. Tapi keadaan sangat
tidak memungkinkan, aku tidak punya uang untuk kesana dan tugasku juga belum
selesai. Setelah semua tugasku selesai dan aku mendapat bayaran dari tugas
beratku di perbatasan aku pun terbang menjengukmu untuk beberapa minggu.
Setelah kondisimu
semakin sehat, aku pun kembali lagi ke Pontianak. Aku sedih, aku ini istri
macam apa yang tega jauh meninggalkan suami. Demi apa aku meninggalkanmu? Demi apa
kita memilih untuk berjauhan seperti ini? Walaupun kita tak pernah mengeluh
dengan rumah tangga yang kita jalani, tapi didalam hati kita tahu bahwa kita
ingin selalu bisa bersama, tidak terpisah seperti ini. Tapi kita berdua punya
cita-cita untuk kehidupan rumah tangga yang mapan dan semuanya harus kita
rintis dari nol. Kita harus kuat menjalani ini.
Kau adalah tipe
suami bertanggung jawab yang tak ingin melihat aku kesusahan setelah menikah
denganmu, kau selalu ingin dapat membahagiakanku. Untuk itulah awal 2010 kau
memutuskan untuk nekad merantau ke Kalimantan Timur, ke sebuah kota kecil yaitu
Tenggarong, Kutai Kartanegara, padahal ketika aku tahu sakit hepatitismu belum
sembuh total. Ajakan sahabatmu untuk mengajar disebuah SMK Farmasi dan bekerja
di Puskesmas tak bisa kucegah, aku mendukung dan mendoakanmu. Tiga bulan
pertama di Tenggarong adalah bulan yang berat untuk kau jalani, karena terlalu
lelah bekerja di dua tempat, hepatitismu kambuh dan sampai dirawat di rumah
sakit. Lagi aku menangis tapi aku tak tau harus berbuat apa. Hidupku juga
prihatin dikotaku, dengan gajiku yang saat itu cuma Rp850.000. Allah lah
tempatku mengadu, aku bingung harus berbuat apa. Akhirnya dengan hati sedih aku
meninggalkan kedua orang tuaku, berhenti dari pekerjaanku, berhenti mengejar
mimpiku, dan menyusulmu disana. Merawatmu dan berharap aku bisa membangun
mimpiku lagi dari nol.
Bismillah, 28 Maret
2010 akupun berangkat menyusulmu, dengan beberapa koper berisi pakaian,
buku-buku dan beberapa perabot dapur pemberian ibuku dan juga ibumu. Tiba
di Tenggarong malam hari, aku pun menangis memasuki kota itu, kota itu
sepi dan aku merasa aku terbuang, jauh dari keluargaku, orangtuaku, sahabat-sahabatku,
hanyan berdua bersamamu dan tak tahu apa yang akan terjadi esok, masa depan kita
yang menggantung. Hidup mandiri kita mulai saat itu.
Pertama kali
masuk ke kamar kontrakan kita yang sangat sederhana, yang dicarikan oleh
temanmu, aku sedikit shock. Tak ada apapun disana, kosong. Ya tapi inilah awal kehidupan rumah tangga
kita yg sebenarnya. Kita tak punya apa-apa, hanya kasur tipis yang dibawa dari
Surabaya, 2 piring, 2 gelas, 2 sendok, pemanas air dan rice cooker.
Minggu-minggu pertama di Tenggarong sangat berat untukku sayang, aku tak
terbiasa hidup seperti ini, jauh di orangtuaku. Aku anak tunggal dan terbiasa
dengan hadirnya keluargaku. Tak ada hiburan di kamar kontrakan karena kita tak
punya televisi, apalagi kamar kontrakan kita ada dilantai 2, setiap malam aku
selalu kepanasan dan kita masih belum punya kipas angin. Akhirnya setiap malam aku
selalu mengajakmu ke pinggiran sungai Mahakam, duduk dibawah "golden gate" nya kota Tenggarong, ngobrol
sambil jajan tahu goreng atau cilok dan
menikmati malam sampai kita mengantuk dan pulang. Kita tetap bisa
bahagia walaupun hidup sangat sederhana seperti ini.
Semakin hari aku
semakin betah di Tenggarong itu, apalagi ketika kita pindah ke rumah kontrakan
kita yang baru. Aku senang karena punya tetangga-tetangga yang baik dan juga
nenek yg punya rumah kontrakan yang sangat baik padaku. Akupun semakin
menikmati tugasku sebagai istri dirumah, memasak, mencuci, melayani suami dan
juga tetap mencari-cari pekerjaan untukku lagi. Kondisi kesehatanmu pun
berangsur-angsur pulih walau masih terus mengkonsumsi obat setiap hari. Dari
hasil pekerjaanmu kita bisa cicil motor bekas, punya televisi, kasur dan kipas
angin walaupun saat itu kita belum punya lemari.
Pekerjaanmu
sebagai guru farmasi di SMK Farmasi ditambah dengan pekerjaan sampingan sebagai
asisten apoteker di apotek akbar dari jam 5 sampai jam 10 malam membuatmu lelah
setiap hari. Semua kau lakukan sebagai bentuk tanggungjawabmu, ingin selalu
membuatku bahagia. Sampai suatu hari, yaitu hari ke 26 Ramadhan tahun 2010, 4
hari sebelum hari raya Idul fitri kau sakit tipes dan harus opname. Di saat
kita jauh dari keluarga, dan uang yang pas-pasan, aku pun dengan sangat
terpaksa menjual mas kawin yang kau berikan untuk membayar biaya rumah sakit.
Sebagai istri aku
tak tega membiarkanmu banting tulang, aku memutar otak untuk dapat membantumu.
Jualan parfum, kue pastel dan jualan roti bakar aku lakukan. Setiap pagi jam 4
subuh aku sudah bangun untuk membakar roti dan mengisinya dengan berbagai rasa.
Jam 6.30 pagi roti itupun selalu kau bawa untuk dititipkan di kantin sekolah
tempatmu mengajar. Aku tak malu lagi melakukan ini semua demi dapat membantumu,
aku bahagia.
Pembukaan CPNS salah satu kementerian pada tahun 2010 aku ikuti, ini kesempatan keduaku karena tahun
2009 aku gagal. Aku fokus belajar, ini mimpiku untuk bisa jadi bagian kementerian
yang bergengsi itu. Aku mempersiapkan diri untuk mengikuti tes empat tahap
dengan sistem gugur. Kau mendukungku penuh, kau bantu aku mencarikan soal-soal
tes CPNS tahun-tahun sebelumnya, kau mengantarku setiap tahapan tes ke
Balikpapan dengan sepeda motor selama 4 jam perjalanan. Pada tahapan tes ketiga
yaitu tes kesehatan, sakit tipesmu kambuh lagi tapi kau nekad untuk tetap
mengantarku ke Balikpapan. Perjuangan dan dukunganmu untuk kesuksesanku sangat
besar sayang dan alhamdulillah pada bulan Oktober 2010 aku lulus tes terakhir. Sungguh
aku tak akan kuat melewati semua tes itu tanpa dukunganmu.
Setelah
dinyatakan lulus dan akan ditempatkan di Jakarta akupun lunglai. Aku berat
meninggalkanmu, itu artinya kita akan terpisah lagi, padahal baru 8 bulan kita
hidup bersama. Pada saat itu, aku bersumpah jika tak Keluar restu itu darimu,
selangkahpun aku tak akan berangkat ke Jakarta. Tapi katamu, demi cita-cita
kita berdua untuk dapat hidup mapan suatu hari kita harus bersabar dan
kesampingkan ego kita. Aku melihatmu menangis ketika aku pergi
meninggalkanmu dan rumah kontrakan kita yang begitu banyak kenangannya.
1 Desember 2010
aku mulai bekerja di Kementerian itu dan pada saat yang sama kau pun
diterima bekerja sebagai kepal instalasi di salah satu rumah sakit di samarinda dan mulai
bekerja pada tanggal 1 Desember 2010 pula. Ini bukan kebetulan tapi semua sudah
diatur oleh Allah SWT. Allah punya rencana indah untuk hidup kita setelah
diberi bermacam ujian dan cobaan. Kesabaranmu dan keuletan kita mengantarkan
kita ke karier masing-masing yang kita impikan.
Sayang.... 4
tahun pernikahan kita, 4 tahun menjalani long
distance love banyak sekali suka dan duka kita lewati bersama, berjauhan
seperti ini bukan suatu yang mudah. Pengorbanan hati, perasaan dan juga uang
kita alami. Kita berusaha untuk bisa bertemu, siapapun dari kita yang bisa dan punya waktu luang. Alhamdulillah Allah
masih berikan kita kemudahan rejeki dan waktu untuk kita bertemu walau kadang
hanya sebulan atau dua bulan sekali.
4 tahun rumah
tangga kita ini masih awal dan kita masih akan terus bersama, bertahan dan
terus menumbuhkan cinta baru disetiap hari dengan orang yang sama. Riak-riak
kecil keributan dalam rumah tangga kita selama ini tak pernah membuat kita
surut. Salah satunya adalah workaholic-mu
yang selalu membuatku cemas, kadang membuatku seperti terlupakan dan menjadi nomor
dua setelah pekerjaanmu. Maafkan aku yang selalu merepotkanmu dengan ngambekku
dan kurang pengertian dengan kesibukan kerjamu. Sayang, terimakasih telah
memberikan kepercayaan kepadaku ketika jauh darimu, terimakasih telah mendukung
semua cita-citaku, terimakasih karena selalu sabar dan tak pernah marah apalagi
lelah menghadapiku yang keras, cerewet dan
pencemburu ini.
Sayang, meskipun
kau bukan suami yang romantis yang dapat membuat istrimu ini terlena karena
kata-kata indahmu tapi aku selalu luluh dengan kesetiaan dan tanggungjawabmu sebagai
suami. Bagiku bentuk cintamu yang menjelma dalam kesetiaan dan tanggungjawabmu saja
sudah cukup dan lebih dari segalanya. Apalagi yang kurang bagiku, ketika kau
membuatkanku sebuah istana kecil yang dengan pemandangan indah diatas bukit di kota
Balikpapan, yang ratunya adalah aku. Tak cukup cuma itu, kau juga menyiapkan
investasi masa depan untuk kita ketika nanti kita sudah tak kuat bekerja, rumah
kost 4 kamar yang saat ini sedang kita bangun alhamdulillah hampir memasuki
tahap akhir. Aku selalu ingat kata-katamu, bahwa kau ingin selalu membahagiakan
orang-orang yang kau cintai, aku dan keluarga kita. Kau rela berkorban, bekerja
siang dan malam untuk bisa membahagiakan kami. Itulah bentuk cintamu yang
sederhana namun hatimu seluas samudera.
Sayang, tak
selamanya aku akan berada jauh darimu, itu bukan inginku. Apapun karirku, aku
hanyalah seorang istri, yang ingin mencintai dan melayanimu. Aku hanya seorang
istri yang ingin masuk syurga karena taat dan patuh padamu. Aku hanya seorang
istri yang keinginan terbesar dalam hidupnya adalah dapat terus bisa berada
disisimu, memasak makanan enak setiap hari untukmu, memelukmu disaat bahagia
dan sedih, memijitmu dikala kau lelah selepas bekerja, sejuk dan teduh dipandang olehmu setiap hari
dan menjadi ibu dari anak-anakmu yang sholeh dan sholehah.
Alhamdullilah
perjuanganku pun untuk kembali ke Balikpapan membuahkan hasil. Permohonan
mutasiku ke salah satu unit kerja Kementerian di Balikpapan sudah
disetujui. Alasan utama mengikuti suami tentunya tak dapat ditolak oleh
pimpinan. Ya, selayaknyalah sebagai istri aku selalu berada disisimu, tanpa
meninggalkan pekerjaanku.Tak lama lagi, ya sebentar lagi kita akan bersama lagi
Sayang, aku yakin
Allah punya rencana yang indah dari setiap perjalanan rumah tangga kita ini. Semoga
Allah merahmati rumah tangga kita dan selalu melimpahkan begitu banyak cinta
setiap hari serta senantiasa dalam ketaatan kepadaNya. Semoga Allah juga
mengabulkan doa yang setiap saat kita lantunkan dalam hati untuk dapat
diberikan keturunan yang sholeh dan
sholehah dari sisiNya. Amin...
Bulan madu kesekian kalinya lagi, Trunyan, Bali
Istana kecil yang dibangun suamiku
Catatanku ketika baru tiba di Tenggarong
salah satu puisi romantis suamiku (copas dari internet :P)
Barakallahu.. untuk mbak Uniek Kaswarganti untuk wedding anniversary-nya yang ke 10, semoga rumah tangganya penuh barokah, selalu Allah limpahkan cinta setiap saat, kebahagiaan dan penuh ketaatan kepada Allah SW.
Kisah pernikahan ini diikutsertakan pada Giveaway 10th Wedding Anniversary by Heart of Mine :)
terima kasih utk partisipasinya mba, minta tolong donk itu link-nya dibenerin dulu :) Ada 2 link yg harus disertakan ya, mungkin bisa 'nyontek' punya peserta yg lain hihihii... kutunggu ya mba
ReplyDeleteHihi... makasih mbak Uniek untuk koreksinya. sudah aku perbaiki, semoga sudah sesuai dengan persyaratan (nyontek link peserta lain) :D
ReplyDeletewah gampang banget ya nemu jodohnya hihi... jd pengen kayak gt:)
ReplyDeletehihihi... gak gampang juga, butuh 3 tahun baru bisa lihat orangnya langsung, dan masih bertahan selama 4 tahun ini walaupun tak bisa bertemu tiap hari. Hehehe...tapi namanya juga jodoh, dari mana aja bisa ya ketemunya :D
ReplyDeleteMel, baru mampir iniii.. Hehe gini toh kisah lengkapnya.. Semoga cepet keluar itu SK yaaa ;)
ReplyDeleteMbak Dini, ya mbak... hihihi. amin mbak, doakan ya :)
ReplyDelete