Jika cinta itu angin, rentangkan layarku
Pada udara yang tak panas dan tak dingin
Jika cinta itu laut, layarkan perahuku
Pada ombak yang tak
badai dan tak mati
(Puisi “Doa Sederhana” Ahmadun Yosi Herfanda -1980)
Potongan Puisi yang indah itu
saya kutip untuk undangan pernikahan saya dulu. Harapan saya adalah memiliki
sebuah pernikahan yang bahagia, hangat dan tak ada badai yang berarti yang kami
hadapi.
Menikah, berkeluarga, rumah tangga yang bahagia, harmonis,
tambah bahagia ketika buah hati hadir, dan kitapun bersama membesarkan
anak-anak hingga dewasa, berada dirumah kita yang sejuk dengan anak cucu,
hingga tua, hingga renta, sedikit sakit saja harapannya dan akhirnya tutup
usia. Ah, hidup seperti itu semua orang pasti mengidam-idamkannya. Tapi ketika
harapan tak semuanya menjadi kenyataan, haruskah kita akhiri pernikahan itu,
pantaskah kita menggerutu tak bersyukur dan tak IKHLAS menjalaninya. Menjalani
semua pilihan yang sudah kita buat?
Saya menikah tanggal 17 Mei tahun 2009, dengan seorang lelaki yang
umurnya selisih 8 tahun lebih tua dari saya. Perkenalan kami juga cukup unik,
dari internet, 4 kali bertemu dalam rentang waktu 4 tahun dan kemudian menikah.
Musibah kecil dihari pernikahan yang banyak orang bilang sebagai pertanda buruk
tak pernah kami gubris. Toh sampai dengan saat ini Alhamdulillah kami masih
bersama. Dia saya pilih menjadi suami saya karena keimanannya, sifatnya yang sabar dan bijaksana,
seorang imam dalam rumahtangga bukannya harus memiliki sifat itu. Bagaimana kalau saya
sebagai istri tidak sabar, suka mengomel, ceroboh dalam mengambil keputusan? Kalau
dia tidak sabar dan bijaksana, entah apa
kami masih merayakan wedding anniversary kami yang ke-5 sebentar lagi.
Entahlah.. saya takut memikirkan itu.
Kapankah saya dikaruniai Allah anak-anak yang sholeh dan
sholehah?
Menikah dan kemudian tak lama setelah itu hamil dan melahirkan, ah senangnya ya, kebahagiaan
lengkap, impian semua orang termasuk saya dan suami. Kenyataannya sampai dengan
tahun kelima pernikahan kami, kami belum juga dikarunia anak. Rasanya
seperti apa sih ketika ada saudara dan teman yang berbagi kabar baik tentang
kehamilannya atau ketika melihat pasangan suami istri jalan-jalan di mall atau
ditaman dengan mendorong anak mereka di troller bayi yang lucu? Atau perasaan
apa sih yang saya rasakan ketika menggendong anak saudara, teman dan tetangga
yang menggemaskan? Atau ketika teman-teman pamer foto-foto dan cerita anak
mereka di Facebook, twitter dan BBM. Ya Allah, tiba-tiba dada saya sesak, nyes…
campur aduk, bahagia, sedih, iri, dan marah kepada diri sendiri. ya Allah kapan
saya bisa merasakan indahnya saat hamil, sakit dan tegangnya proses melahirkan,
menyusui dan merawat anak-anak saya. Kapan saya bisa dipanggi dengan sebutan Bunda oleh
suara-suara lucu yang menggemaskan, yang membuat saya setiap hari ingin pulang
cepat dari kantor dan memeluk mereka.
Mudahkah untuk tetap menjaga keikhlasan dan kesabaran
menjalani pernikahan yang kata orang (kebanyakan) belum lengkap ini? Mudahkah
menjaga hati tetap sabar ketika saudara bertanya, teman menyindir, orang tak
dikenal menanyakan ibu sudah punya anak berapa? Mudahkah menjaga hati agar tetap ikhlas ketika tidak sedikit
rupiah yang diperoleh dari hasil bekerja
dari pagi sampai sore, untuk berobat ke dokter, periksa ini periksa itu tapi
hasilnya masih nihil. Mudahkah untuk ikhlas dan tidak menangis ketika setiap
bulan melihat tanda satu garis saja padahal
sudah telat datang bulan. Mudahkah untuk tetap ikhlas dan terlihat baik-baik
saja didepan orangtua dan mertua saat mereka sudah mulai merengek meminta cucu?
Tak semua orang bisa merasakan yang kami rasakan dan kami
juga tidak berharap banyak orang lain mengerti perasaan kami, apa yang kami
rasakan. Saya pikir cobaan orang berbeda-beda. Rejeki orang juga berbeda-beda.
Allah maha adil dan maha baik. Walaupun sampai dengan saat ini saya belum
pernah sekalipun hamil dan memiliki anak, namun saya bersyukur saya masih
diberikan seorang suami yang baik, sabar dan setia bersama saya. Walaupun
keluarga kami belum lengkap, tapi saya bersyukur saya sudah memiliki rumah untuk
anak-anak kami nanti, sehingga ketika mereka lahir mereka tidak lagi kedinginan
atau kepanasan, ada tempat berteduh yang nyaman untuk mereka. Menjadi ikhlas terhadap ketentua Allah bukanlah perkara
mudah, saya manusia biasa yang bisa marah, kecewa, sedih karena doa saya dan
suami belum dikabulkan olehNya. Apakah saya tidak pantas jadi seorang ibu?
Ataukah Allah punya rencana lain? Saya tidak tahu, hanya Allah yang maha tahu
dan mengatur semuanya.
Belajar Ikhlas dari Nabi Dzakariah
Siapa saya yang begitu sombongnya meminta kepada Allah? padahal
saya masih sering melaksanakan sholat 5 waktu hanya karena kewajiban, bukan
karena begitu cintanya saya kepada Allah yang memberikan saya hidup. Siapa saya
yang meminta diberikan anak-anak yang sholeh dan sholehah dengan doa yang
menggebu-gebu dan memaksa, sedangkan nabi Dzakariah saja yang notabene adalah
nabi Allah bahkan harus diuji kesabaran dan keikhlasannya selama 90 tahun. Siapa
saya yang memanjatkan doa kadang tak serius, padahal Nabi Dzakariah saja terus
menerus meminta dengan doa yang khusu’ kepada Allah selama 90 tahun untuk
dikaruniai anak-anak yang sholeh dari
istrinya yang jelas-jelas telah divonis mandul.
Saya belajar keikhlasan dari nabi Dzakariah. Ketika ia serius
dalam berdoa dan benar-benar meminta kepada Allah tanpa terburu-buru disaat
itulah Allah ridho memberi karunia anak yang sholeh yaitu nabi Yahya. Ya...
mungkin saya selama ini belum bersungguh-sungguh dalam berdoa, terburu-buru
agar doanya dikabulkan. Saya mencoba
terus berusaha ikhlas menjalani setiap fase kehidupan saya, karena dengan
ikhlas hati saya menjadi tenang. Ikhlas memang tidak mudah, namunketika
kesedihan mulai datang, saya selalu berdoa meminta diberikan kekuatan dan keikhlasan
menjalani semua ini.
Hal lain yang membuat saya semakin ikhlas menerima semua ketentuan
dariNya adalah karena saya tidak sendiri. Bukan saya satu-satunya perempuan di
dunia ini yang belum memiliki anak. Diluar sana masih banyak
perempuan-perempuan seperti saya yang belum memiliki anak. Diantara mereka
tidak sedikit yang memang divonis mandul. Sedangkan saya, saya dan suami
sehat-sehat saja hampir tidak ada masalah kesehatan yang berarti yang kami
alami. Ada juga mereka yang sudah habis ratusan juta rupiah hanya untuk dapat
memiliki anak, sedangkan saya belum ada apa-apanya dibanding mereka. Lain lagi
mereka yang sudah menikah belasan bahkan lebih dari 20 tahun dan belum
dikaruniai momongan. Apa yang saya rasakan belum ada apa-apanya dibanding yang
mereka rasakan. Saya bersyukur maka saya ikhlas dengan keadaan saya saya ini.
Tujuan Menikah
Saya mencoba merenungi lagi atas dasar apa saya menikah
dengan suami saya? Ya, tentu saja karena kami saling mencintai. Ini alasan yang
paling aman dan nyaman. Tapi tujuan dan niatnya apa? Apakah karena ingin
menyenangkan orangtua, ingin kaya, ingin lekas punya anak, ingin ini, ingin itu
dan lain sebagainya? Ketika menikah merupakan Ibadah dan sunnah Rasul,
disitulah saya kembali menyadari bahwa tujuan kami menikah adalah ingin
mendapat cinta Allah, diridhoi dan menjadi ladang amal bagi kami. Mungkin saat
ini kekuatan niat kami diuji olehNya. Niat kami harus diluruskan kembali dan keikhlasan
kami menjalani biduk rumah tangga, tujuan kami untuk ibadah kepadaNya. Wallahu'alam bishawab.
Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS